Social Icons

Kamis, 26 Desember 2013

1.    PENDAHULUAN



I.1. Latar Belakang

Tanaman kedelai mulai ditanam di Indonesia pada tahun 1750. Tanaman ini diduga berasal dari China, Manchuria dan Korea (Suprapto, 1997). Kedelai (Glycine max L.) merupakan komoditas tanaman pangan penghasil protein yang populer dikalangan masyarakat Indonesia. Berbagai produk makanan olahan kedelai telah dikenal seperti tahu, tempe, susu dan lain sebagainya. Kebutuhan akan konsumsi kedelai semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, meskipun produksi kedelai pada bulan Juli 2012 mencapai 1,2 juta ton/ha, akan tetapi produksi kedelai menurun drastis dari anggaran yang telah direncanakan, target yang direncanakan mencapai 1,9 juta ton/ha. Oleh karena itu, kekurangan kedelai dalam negeri hingga kini mencapai 66% yang harus dipenuhi dari impor terutama dari Amerika (Hidayat, 2012).
Produksi kedelai dapat ditingkatkan melalui program panca usahatani, salah satunya adalah penggunaan benih bermutu. Benih bermutu merupakan benih yang diproduksi berdasarkan ketentuan yang berlaku dan mutunya memenuhi standar mutu benih, yaitu memiliki mutu fisik seperti warna, ukuran, bentuk, dan bobot benih, serta mutu fisiologis yang tinggi seperti kandungan kimia dan enzim yang terdapat pada benih (Idris & Sudarmawan, 2010).
Varietas merupakan sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk dan pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakter atau kombinasi genotip yang dapat membedakan dengan jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan atau tidak segregasi. Secara botani, varietas adalah suatu populasi tanaman dalam satu spesies yang menunjukkan ciri berbeda yang jelas. Kedelai memiliki beberapa varietas seperti varietas Tidar, Tanggamus, Grobogan, dan masih banyak lagi varietas lainnya. Penggunaan varietas dalam budidaya kedelai untuk membedakan antara tanaman satu dengan tanaman lainnya serta untuk membandingkan hasil kedelai (Suhartina, 2005).
Jumlah benih yang diperlukan bergantung pada ukuran benih, jarak tanam, dan daya tumbuh benih. Biji kedelai yang berukuran kecil dengan bobot 100 benih antara 7-10 g diperlukan benih 35-40 kg/ha, ukuran benih sedang dengan bobot 100 benih antara 11-15 g diperlukan benih 40-45 kg/ha, dan benih ukuran besar dengan bobot 100 benih di atas 15 g diperlukan benih 45-50 kg/ha. Kotiledon merupakan bagian terbesar dari biji dan sebagai sumber energi, yang berisi bahan makanan cadangan, yang terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein yang berguna untuk pertumbuhan awal kecambah (Maryadi, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Nurmawati (2010), ukuran benih berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit Gmelina yaitu dengan rata-rata 2,21 cm, ukuran benih yang besar dan ukuran benih sedang dapat tumbuh lebih baik dibandingkan ukuran benih yang kecil.
Cara lain untuk meningkatkan produksi kedelai adalah dengan pengaturan jarak tanam. Jarak tanam yang berbeda dapat mempengaruhi produksi suatu tanaman, karena akan terjadi perebutan nutrisi antar satu tanaman dengan tanaman lainnya. Jarak tanam kedelai yang dapat digunakan yaitu 40x10, 40x15 dan 40x20 cm. Hasil penelitian Barus (2004), pada jarak tanam 40x20 cm dapat meningkatkan jumlah cabang tanaman kedelai yaitu dengan rata-rata 4,75 buah, sedangkan jumlah biji per plot dan berat biji per plot yang terbaik terdapat pada jarak tanam 40x10 cm. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno dan Titiek (2004), bahwa perlakuan jarak tanam 20x30 cm memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah terhadap jumlah polong per tanaman.
Kedelai mampu beradaptasi dengan baik di daerah tropis atau daerah beriklim panas seperti Indonesia, karena tanaman ini menghendaki hawa yang cukup panas (Eprim, 2006). Kedelai juga dapat dibudidayakan pada berbagai media asalkan ada perlakuan khusus dan kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi dengan baik, begitu juga di lahan gambut. Gambut merupakan bahan organik yang terbentuk pada rawa. Kumpulan bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob menyebabkan proses perombakan  berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2007).
Riau mempunyai lahan gambut yang cukup luas yaitu sekitar 3,9 juta ha, namun luas lahan yang memiliki potensi untuk pengembangan tanaman pangan dan palawija sekitar 878,751 ha. Sementara itu, lahan yang baru termanfaatkan untuk pengembangan tanaman palawija dan padi seluas 105,630 ha. Sebagian besar lahan gambut ini tersebar di Kabupaten Indragiri Hilir, Bengkalis, dan Siak  (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2005).
Lahan gambut di Provinsi Riau belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan pertanian. Hal ini disebabkan adanya sifat-sifat buruk yang dimiliki tanah gambut itu sendiri, seperti pH dan kejenuhan basa sangat rendah. Agar lahan gambut ini dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian secara optimal dengan penanaman kedelai maka perlu penanganan serius dalam proses budidayanya. Usaha yang dapat dilakukan antaranya adalah pemakaian varietas yang tepat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Respon Hasil beberapa Varietas Tanaman Kedelai (Glycine max L. dan Jarak Tanam yang berbeda di Lahan Gambut”.


1.2.  Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1.    Varietas yang terbaik terhadap hasil tanaman kedelai di lahan gambut.
2.    Jarak tanam yang terbaik terhadap hasil tanaman kedelai di lahan gambut.
3.    Interaksi varietas  dan jarak tanam terhadap hasil tanaman  kedelai di lahan gambut.

1.3.  Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memahami aplikasi teknik budidaya tanaman kedelai di lahan gambut dengan perlakuan perbedaan varietas dan jarak tanam.
                                                            
1.4.   Hipotesis

1. Ada pengaruh nyata terhadap hasil tanaman kedelai dengan varietas yang berbeda.       
2. Jarak tanam berpengaruh terhadap hasil tanaman kedelai.
3. Ada interaksi varietas dan jarak tanam terhadap hasil tanaman kedelai.

II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Botani Tanaman Kedelai
Suprapto (1999) menyatakan tanaman kedelai dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae), Genus:  Glycine, Spesies:  Glycine max (L.) Merril.  Tanaman ini berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang 20-100 cm. Berdasarkan tipe pertumbuhan batangnya, kedelai dibagi menjadi tiga tipe, yatu: 1.) Determinit yang mempunyai ciri-ciri pertumbuhan batang berhenti setelah tanaman berbunga, besar batang hampir sama dari pangkal sampai keujung dan tumbuh tegak, ukuran batang pendek atau sedang, ukuran daun seragam dan berbunga serempak, 2.) Indeterminit yang mempunyai ciri-ciri pertumbuhan batang terus berlanjut meskipun tanaman sudah berbunga, batang tinggi dan agak melilit. Ukuran batang bagian ujung lebih kecil dan berbunga secara bertahap dan 3.) Semi Determinit merupakan campuran dari kedua tipe tersebut (Najiyati & Danarti, 1997).
Akar tanaman kedelai terdiri atas akar tungggang, akar lateral dan akar serabut. Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah sampai kedalaman kurang lebih 1,5 m. Pada akar lateral terdapat bintil-bintil akar yang merupakan kumpulan bakteri rhizobium pengikat nitrogen dari udara. Bintil akar ini biasanya akan terbentuk 15-20 hari setelah tanam (Hanifiah et al., 2000).
Daun kedelai termasuk daun majemuk dengan tiga buah anak daun. Helaian daun berbentuk oval dengan ujung lancip. Apabila sudah tua, daun-daun ini akan mulai menguning dan berguguran mulai dari bagian bawah (Najiyati & Danarti, 1997). Menurut Suprapto (1999) kedelai berbatang semak dengan tinggi batang 30-100 cm. Setiap batang dapat membentuk 3-6 cabang. Batang kedelai beruas-ruas, jumlah buku dan ruas yang membentuk batang utama tergantung dari reaksi genotipe terhadap panjangnya hari dan dari tipe pertumbuhan.
Tanaman kedelai mulai berbunga antara umur 30-50 hari, tergantung dari varietas dan iklim. Semakin pendek penyinaran dan semakin tinggi suhu udaranya, akan semakin cepat berbunga. Bunga ini termasuk bunga sempurna karena memiliki alat perhiasan bunga dan alat reproduksi secara lengkap. Bunga kedelai berbentuk kupu-kupu, berwarna ungu atau putih dan muncul di ketiak daun (Fachrudin, 2000).
Buah kedelai berbentuk polong, setiap polong berisi 1-4 biji. Polong kedelai memiliki bulu, berwarna kuning kecoklatan, atau abu-abu. Polong yang sudah masak berwarna lebih tua, warna hijau berubah menjadi kehitaman, keputihan, atau kecoklatan. Bila polong telah kuning mudah pecah dan biji-bijinya melenting ke luar (Cholid, 1987). Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak di antara keping biji. Warna kulit biji bermacam-macam, ada yang kuning, hitam, hijau, dan coklat. Bentuk biji kedelai bulat lonjong, bundar atau bulat lonjong ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi, tergantung varietas (Suprapto, 1999). 

2.2. Budidaya Kedelai  
2.2.1.  Syarat Tumbuh

            Kedelai tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air dan memiliki pH 6-6,8. Pada pH 5,5 kedelai masih dapat berproduksi. Pada pH  dibawah 5,5 pertumbuhanya sangat terlambat karena keracunan alumunium. Untuk mengatasinya, lahan perlu dikapur (Najiyati & Danarti, 1997).
            Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan dengan iklim sangat lembab.  Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim  tropis dan subtropis. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34 ºC, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai  adalah 23-27 ºC. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu sekitar 30 ºC. (Rukmana & Yuniarsih, 1996).
            Di Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian telah banyak varietas kedelai dalam negeri dan kedelai introduksi yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ± 1200 m dpl (Rukmana & Yuniarsih, 1996).
            Curah hujan optimum antara 100-200 mm/bulan. Varietas kedelai berbiji kecil sangat cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 0,5-300 m dpl. Sedangkan varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 300-400 m dpl (Najiyati & Danarti, 1997).
            Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia. Kedelai juga membutuhkan tanah yang kaya akan humus atau bahan organik. Bahan organik yang cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan juga merupakan sumber makanan bagi jasad renik, yang akhirnya akan membebaskan unsur  hara untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman kedelai  dapat tumbuh pada berbagai  jenis  tanah  dengan syarat drainase dan  aerasi  tanah  cukup  baik  serta  ketersediaan  air  yang cukup selama pertumbuhan  tanaman.  Tanaman  kedelai dapat tumbuh  dengan baik  pada jenis  tanah  Alluvial,  Regosol,  Grumusol,  Latosol atau  Andosol.  pertumbuhan  tanaman  kedelai kurang baik pada pH  tanah  pasir,  dan pH  tanah  yang  baik  untuk  pertumbuhan kedelai adalah 6 - 6.5 (Abidin, 2001).

2.2.2. Tata Cara Penanaman Kedelai

1. Penanaman 
            Benih yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi yaitu benih yang baik, yang memiliki vigor dan daya kecambah yang tinggi. Benih yang digunakan adalah benih yang tidak cacat fisiologisnya (Wirawan & Wahyuni, 2004). Menurut Suprapto (1999) sebelum dilakukan penanaman maka terlebih dahulu dipersiapkan lahan yang akan digunakan untuk penanaman. Langkah awal dalam persiapan lahan adalah pengolahan tanah. Pengolahan tanah bertujuan untuk memperbaiki struktur dan aerasi tanah agar pertumbuhan akar dan penyerapan hara dapat berlangsung secara baik. Pengolahan lahan kering dapat dilakukan dengan cara dibajak atau dicangkul agar gembur. Tanah dibersihkan dari gulma, kemudian dibuat petakan dan disekeliling petakan dibuat parit dengan lebar 20-25  cm sedalam 25-30 cm.
            Sebelum benih ditanam, terlebih dahulu benih disiapkan sesuai kebutuhan. Setelah itu benih kedelai ditanam di dalam lubang sedalam 3-4 cm dengan 3 butir benih per lubang tanam. Selesai penanaman lubang ditutup kembali dengan tanah. Setelah benih tumbuh dengan baik (7 hari setelah tanam), dilakukan penjarangan dengan menyisakan 2 tanaman per lubang tanam (Wirawan & Wahyuni, 2004).
2.        Pemeliharaan
Penyiangan dilakukan terhadap gulma yang tumbuh di sekitar tanaman dan dilakukan pada umur tanaman 2-3 minggu setelah tanam (Wirawan dan Wahyuni, 2004). Pemupukan dasar dilakukan dengan  menggunakan pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Pupuk tersebut diberikan saat tanam atau 1 minggu setelah tanam dengan cara disebar atau dimasukkan ke dalam lubang berjarak 4-5 cm di samping lubang tanam. Adapun tujuan dari pupuk dasar N, P, dan K adalah menyediakan unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh (Najiyati dan Danarti, 1997). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila ada tanda-tanda serangan  hama dengan menggunakan insektisida kimia, dan untuk menghindari penyakit digunakan fungisida, dapat juga dilakukan dengan kultur teknis (Wirawan & Wahyuni, 2004).

2.3. Varietas

            Varietas unggul kedelai memiliki sifat unggul tertentu dibandingkan dengan varietas lokal. benih dari varietas unggul dapat meningkatkan produksi tanaman. Sifat unggul tersebut antara lain potensi hasil tinggi, tahan hama/penyakit, berumur pendek, respon terhadap pemupukan, toleran kekeringan, toleran lahan masam, penggunaan varietas unggul akan mendorong tanaman tumbuh seragam, masak serempak, produksi tinggi, dan akan meningkatkan efisiensi penggunaan benih (Suhartina, 2005). Pada percobaan yang dilakukan Budi dan Hajoeningtijas (2009) menjelaskan perlakuan varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan hasil kedelai, varietas Sinabung dan Ijen memiliki respon pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas Grobogan, sedangkan jumlah polong isi tertinggi yaitu 285,5  buah polong dan hasil biji kering 46,7 g/tanaman didapat pada varietas Sinabung.
            Benih adalah rangkaian terpenting dalam budidaya tanaman karena merupakan awal kehidupan tanaman, sehingga untuk mendapatkan produksi yang tinggi perlu digunakan benih yang bermutu tinggi (Mulyani, 2012). Ukuran benih merupakan faktor penting dalam perkecambahan karena jumlah air dan cadangan makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan kecambah berdasarkan dengan ukuran benih itu sendiri. Semakin besar ukuran benih  semakin besar pula cadangan makanan, sebaliknya semakin kecil benih semakin kecil juga jumlah cadangan makanan yang ada (Nurmawati, 2010). Kebutuhan air pada pertumbuhan benih berukuran besar berbeda dengan benih ukuran kecil. Al-Karaki (1998) cit. Suwarno dan Santana (2009) menyatakan benih berukuran besar menyerap air lebih banyak dan cepat dibandingkan dengan benih sedang dan kecil.
      Menurut Kartikasari (1999), tiap ukuran benih memiliki hubungan nyata  dengan vigor benih karena vigor benih yang berukuran besar memilki kandungan kimia utama yang lebih banyak untuk perkecambahan sebagai cadangan makanan dibandingkan benih yang berukuran kecil. Suwarno dan Santana (2009) menyatakan bahwa masing-masing jenis benih besar atau kecil memberikan respon yang berbeda terhadap pengaruh substrat. Faktor utama perbedaan tersebut adalah sifat benih yang erat hubungannya dengan kebutuhan air untuk menjadi kecambah normal. Hasil penelitian Maryadi (2002), membuktikan pada ukuran benih kedelai 0,5 cm memberikan hasil tertinggi mencapai 0,1 g/berat kering berkecambah dibandingkan benih berukuran 0,4 dan 0,3 cm yang hanya mencapai 0,08 dan 0,06 g/berat kering berkecambah.

2.4. Jarak Tanam

            Jarak tanam dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Kecenderungan jarak tanam yang lebih luas akan meningkatkan jumlah cabang, berat biji, dan produksi  kedelai. Semakin lebar jarak tanam maka semakin besar pemanfaatan sinar matahari untuk proses fotosintesis dan semakin luas pengembangan tanaman sehingga cabang tanaman lebih banyak yaitu pada jarak tanam 40x20 cm dengan rata-rata jumlah cabang 4,75 buah (Barus, 2004).  Kaswara (1982) cit. Barus (2004) menyatakan bahwa kerapatan tanam (jarak tanam) mempengaruhi populasi tanaman dan keefisienan penggunaan cahaya. Selain itu antar tanaman akan terjadi perebutan dalam menggunakan air dan zat hara sehingga akan mempengaruhi hasil kedelai.
            Penentuan  jarak tanam tergantung pada daya tumbuh benih yang dipakai, kesuburan tanah, musim dan varietas yang ditanam. Benih yang memiliki sifat fisik dan daya tumbuhnya tinggi lebih baik menggunakan jarak tanam yang lebar. Sebaliknya apabila benih yang digunakan kurang baik pertumbuhannya sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih sempit karena dapat mempengaruhi hasil tanaman dan jumlah populasi yang ditanam (Supriono, 2000). Keuntungan dari jarak tanam yang rapat adalah permukaan tanaman dapat segera tertutup sehingga pertumbuhan gulma terhambat, benih yang tidak tumbuh atau mati tidak terlihat jarang, namun ada juga kerugiannya yaitu, ruas batang tumbuh memanjang hingga batang tanaman lemah dan mudah roboh, hasil polong pertanaman berkurang, dan penyiangan sukar dilakukan (Murrinie, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurman et al. (2005) bahwa jarak tanam 40x10 cm berpengaruh nyata terhadap hasil kacang tanah dengan bobot biji kering 1,8 ton/ha dibandingkan dengan jarak tanam 40x20 cm dan jarak tanam 40x30 cm.
            Percobaan yang dilakukan Sutrisno dan Titiek (2004), menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 20x30 cm menghasilkan jumlah polong paling banyak yaitu 21,250 polong yang berbeda nyata dengan jarak tanam 20x20 cm dan jarak tanam 20x40 cm. Semantara itu menurut hasil penelitian Kadekoh (2007) komponen hasil dalam bentuk jumlah polong isi per tanaman dan jumlah biji per tanaman kacang tanah tertinggi dicapai pada jarak tanam yang lebar yaitu 40x30 cm pada musim hujan ataupun kemarau.

2.5.  Tanah Gambut

Tanah gambut memiliki kapasitas penyimpanan air yang besar yaitu 10 kali lebih besar dari tanah mineral, sehingga dengan kandungan air yang tinggi ini merupakan pembatas bagi pertumbuhan akar, karena akar akan kekurangan oksigen dan tidak bisa bernapas (Hakim et al., 1986). Faktor penghambat yang dijumpai dalam usahatani di lahan gambut adalah kemasaman tanah yang tinggi, kejenuhan basa (KB) yang rendah, kahat unsur hara N, P, K, Ca, Mg, dan beberapa unsur hara mikro seperti Cu, Zn, dan Mn. Penggunaan kapur merupakan usaha untuk mengatasi kemasaman tanah dan kejenuhan basa yang rendah (Hardjowigeno, 2003).
Tanaman palawija seperti tanaman jagung, kedelai, keladi, ubi kayu dan ubi rambat  yang ditanam di lahan gambut umumnya untuk mencukupi kebutuhan pangan petani. Tingkat kemasaman tanah gambut yang sangat tinggi dan kesuburan tanah yang rendah merupakan masalah yang dihadapi petani palawija setelah mereka melakukan perbaikan drainase tanah gambut. Untuk meningkatkan kesuburan tanah, petani memerlukan masukan abu yang didapatkan dari pembakaran semak belukar dan  gambut, pembakaran dilakukan pada musim kemarau (Wahyono & Suprapto, 2005). 
      Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai organosol atau histosol  yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (Bulk Density/BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff , 2003 cit. Agus & Subiksa, 2008). Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda yaitu dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: 1) gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam dan bila diremas kandungan seratnya < 15%, 2) gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15-75% dan 3) gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Agus & Subiksa, 2008).
      Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi 3 yaitu: 1) gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa (suatu ion bermuatan positif yang terikat pada atau dekat pemukaan bermuatan padatan oleh permukaan koloid bermuatan negatif dan dapat digantikan oleh ion-ion bermuatan positif lainnya dalam larutan tanah). Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen (partikel yang ditransportasi dan didepositkan dari bahan batuan, tanah atau biologi sungai atau laut), 2) gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang dan 3) gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik (Agus & Subiksa, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates