1. PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang
Tanaman kedelai mulai ditanam di Indonesia pada tahun
1750. Tanaman ini diduga berasal dari China, Manchuria dan Korea (Suprapto,
1997). Kedelai (Glycine max L.)
merupakan komoditas tanaman pangan penghasil protein yang populer dikalangan
masyarakat Indonesia. Berbagai produk makanan olahan kedelai telah dikenal
seperti tahu, tempe, susu dan lain sebagainya. Kebutuhan akan konsumsi kedelai
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, meskipun produksi
kedelai pada bulan Juli 2012 mencapai 1,2 juta ton/ha, akan tetapi produksi
kedelai menurun drastis dari anggaran yang telah direncanakan,
target yang direncanakan mencapai
1,9 juta ton/ha.
Oleh karena itu, kekurangan kedelai dalam negeri hingga kini mencapai 66% yang
harus dipenuhi dari impor terutama dari Amerika (Hidayat, 2012).
Produksi kedelai dapat ditingkatkan melalui program
panca usahatani, salah satunya adalah penggunaan benih bermutu. Benih bermutu
merupakan benih yang diproduksi berdasarkan ketentuan yang berlaku dan mutunya
memenuhi standar mutu benih, yaitu memiliki mutu fisik seperti warna, ukuran,
bentuk, dan bobot benih, serta mutu fisiologis yang tinggi seperti kandungan
kimia dan enzim yang terdapat pada benih (Idris & Sudarmawan, 2010).
Varietas merupakan sekelompok tanaman dari
suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk dan pertumbuhan tanaman,
daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakter atau kombinasi genotip yang
dapat membedakan dengan jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya
satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan
atau tidak segregasi. Secara botani, varietas adalah suatu populasi tanaman
dalam satu spesies yang menunjukkan ciri berbeda yang jelas. Kedelai memiliki
beberapa varietas seperti varietas Tidar, Tanggamus, Grobogan, dan masih banyak
lagi varietas lainnya. Penggunaan varietas dalam budidaya kedelai untuk
membedakan antara tanaman satu dengan tanaman lainnya serta untuk membandingkan
hasil kedelai (Suhartina, 2005).
Jumlah benih yang diperlukan bergantung pada ukuran
benih, jarak tanam, dan daya tumbuh benih. Biji kedelai yang berukuran kecil
dengan bobot 100 benih antara 7-10 g diperlukan benih 35-40 kg/ha, ukuran benih
sedang dengan bobot 100 benih antara 11-15 g diperlukan benih 40-45 kg/ha, dan
benih ukuran besar dengan bobot 100 benih di atas 15 g diperlukan benih 45-50
kg/ha. Kotiledon merupakan bagian terbesar dari biji dan sebagai sumber energi,
yang berisi bahan makanan cadangan, yang terdiri dari karbohidrat, lemak, dan
protein yang berguna untuk pertumbuhan awal kecambah (Maryadi, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Nurmawati (2010), ukuran benih berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan bibit Gmelina yaitu dengan rata-rata 2,21 cm, ukuran benih
yang besar dan ukuran benih sedang dapat tumbuh lebih baik dibandingkan ukuran
benih yang kecil.
Cara lain untuk meningkatkan produksi kedelai adalah
dengan pengaturan jarak tanam. Jarak tanam yang berbeda dapat mempengaruhi
produksi suatu tanaman, karena akan terjadi perebutan nutrisi antar satu
tanaman dengan tanaman lainnya. Jarak tanam kedelai yang dapat digunakan yaitu
40x10, 40x15 dan 40x20 cm. Hasil penelitian Barus (2004), pada jarak tanam
40x20 cm dapat meningkatkan jumlah cabang tanaman kedelai yaitu dengan
rata-rata 4,75 buah, sedangkan jumlah biji per plot dan berat biji per plot
yang terbaik terdapat pada jarak tanam 40x10 cm. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sutrisno dan Titiek (2004), bahwa perlakuan jarak tanam 20x30 cm
memberikan hasil yang terbaik pada pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah
terhadap jumlah polong per tanaman.
Kedelai mampu beradaptasi dengan baik di daerah tropis
atau daerah beriklim panas seperti Indonesia, karena tanaman ini menghendaki
hawa yang cukup panas (Eprim, 2006). Kedelai juga dapat dibudidayakan pada
berbagai media asalkan ada perlakuan khusus dan kebutuhan nutrisi dapat
terpenuhi dengan baik, begitu juga di lahan gambut. Gambut
merupakan bahan organik yang terbentuk pada rawa. Kumpulan bahan organik pada
kondisi jenuh air, anaerob menyebabkan proses perombakan berjalan sangat lambat, sehingga terjadi
akumulasi yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2007).
Riau mempunyai lahan gambut yang cukup
luas yaitu sekitar 3,9 juta ha, namun luas lahan yang memiliki potensi untuk
pengembangan tanaman pangan dan palawija sekitar 878,751 ha. Sementara itu,
lahan yang baru termanfaatkan untuk pengembangan tanaman palawija dan padi
seluas 105,630 ha. Sebagian besar lahan gambut ini tersebar di Kabupaten
Indragiri Hilir, Bengkalis, dan Siak (Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Riau, 2005).
Lahan
gambut di Provinsi Riau belum dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan pertanian.
Hal ini disebabkan adanya sifat-sifat buruk yang dimiliki tanah gambut itu
sendiri, seperti pH dan kejenuhan basa sangat rendah. Agar lahan gambut ini
dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian secara optimal dengan penanaman kedelai maka perlu penanganan
serius dalam proses budidayanya. Usaha yang dapat dilakukan antaranya adalah pemakaian
varietas yang tepat. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Respon Hasil beberapa Varietas Tanaman Kedelai (Glycine max L. dan Jarak Tanam yang
berbeda di Lahan Gambut”.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Varietas yang terbaik terhadap hasil tanaman kedelai di lahan gambut.
2. Jarak tanam yang terbaik terhadap hasil tanaman kedelai di lahan gambut.
3. Interaksi varietas
dan jarak tanam terhadap
hasil tanaman
kedelai di lahan gambut.
1.3. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk
memahami aplikasi teknik budidaya tanaman kedelai di lahan gambut
dengan perlakuan perbedaan
varietas dan jarak tanam.
1.4. Hipotesis
1. Ada pengaruh nyata terhadap hasil tanaman kedelai
dengan varietas yang berbeda.
2. Jarak tanam berpengaruh terhadap hasil tanaman
kedelai.
3. Ada interaksi varietas dan jarak tanam terhadap hasil
tanaman kedelai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani
Tanaman Kedelai
Suprapto (1999) menyatakan tanaman kedelai dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta,
Kelas: Dicotyledoneae, Ordo: Polypetales, Famili: Leguminosea (Papilionaceae),
Genus: Glycine, Spesies: Glycine
max (L.) Merril. Tanaman ini
berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang 20-100 cm. Berdasarkan tipe
pertumbuhan batangnya, kedelai dibagi menjadi tiga tipe, yatu: 1.) Determinit
yang mempunyai ciri-ciri pertumbuhan batang berhenti setelah tanaman berbunga,
besar batang hampir sama dari pangkal sampai keujung dan tumbuh tegak, ukuran
batang pendek atau sedang, ukuran daun seragam dan berbunga serempak, 2.)
Indeterminit yang mempunyai ciri-ciri pertumbuhan batang terus berlanjut
meskipun tanaman sudah berbunga, batang tinggi dan agak melilit. Ukuran batang
bagian ujung lebih kecil dan berbunga secara bertahap dan 3.) Semi Determinit
merupakan campuran dari kedua tipe tersebut (Najiyati & Danarti, 1997).
Akar tanaman kedelai terdiri atas akar tungggang, akar
lateral dan akar serabut. Pada tanah yang gembur, akar ini dapat menembus tanah
sampai kedalaman kurang lebih 1,5 m. Pada akar lateral terdapat bintil-bintil
akar yang merupakan kumpulan bakteri rhizobium pengikat nitrogen dari udara.
Bintil akar ini biasanya akan terbentuk 15-20 hari setelah tanam (Hanifiah et al., 2000).
Daun kedelai termasuk daun majemuk dengan tiga buah
anak daun. Helaian daun berbentuk oval dengan ujung lancip. Apabila sudah tua, daun-daun
ini akan mulai menguning dan berguguran mulai dari bagian bawah (Najiyati &
Danarti, 1997). Menurut Suprapto (1999) kedelai berbatang semak dengan tinggi
batang 30-100 cm. Setiap batang dapat membentuk 3-6 cabang. Batang kedelai
beruas-ruas, jumlah buku dan ruas yang membentuk batang utama tergantung dari
reaksi genotipe terhadap panjangnya hari dan dari tipe pertumbuhan.
Tanaman kedelai mulai berbunga antara umur 30-50 hari,
tergantung dari varietas dan iklim. Semakin pendek penyinaran dan semakin
tinggi suhu udaranya, akan semakin cepat berbunga. Bunga ini termasuk bunga
sempurna karena memiliki alat perhiasan bunga dan alat reproduksi secara
lengkap. Bunga kedelai berbentuk kupu-kupu, berwarna ungu atau putih dan muncul
di ketiak daun (Fachrudin, 2000).
Buah kedelai berbentuk polong, setiap polong berisi
1-4 biji. Polong kedelai memiliki bulu, berwarna kuning kecoklatan, atau
abu-abu. Polong yang sudah masak berwarna lebih tua, warna hijau berubah
menjadi kehitaman, keputihan, atau kecoklatan. Bila polong telah kuning mudah
pecah dan biji-bijinya melenting ke luar (Cholid, 1987). Biji kedelai berkeping
dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak di antara keping biji.
Warna kulit biji bermacam-macam, ada yang kuning, hitam, hijau, dan coklat.
Bentuk biji kedelai bulat lonjong, bundar atau bulat lonjong ada yang bundar
atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi, tergantung varietas (Suprapto,
1999).
2.2.
Budidaya Kedelai
2.2.1. Syarat Tumbuh
Kedelai
tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air dan
memiliki pH 6-6,8. Pada pH 5,5 kedelai masih dapat berproduksi. Pada pH dibawah 5,5 pertumbuhanya sangat terlambat
karena keracunan alumunium. Untuk mengatasinya, lahan perlu dikapur (Najiyati
& Danarti, 1997).
Iklim
kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan dengan iklim sangat
lembab. Tanaman kedelai sebagian besar
tumbuh di daerah yang beriklim tropis
dan subtropis. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34 ºC, akan
tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai adalah 23-27 ºC. Pada proses perkecambahan
benih kedelai memerlukan suhu sekitar 30 ºC. (Rukmana & Yuniarsih, 1996).
Di
Indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah
sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian telah
banyak varietas kedelai dalam negeri dan kedelai introduksi yang dapat
beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ± 1200 m dpl (Rukmana
& Yuniarsih, 1996).
Curah
hujan optimum antara 100-200 mm/bulan. Varietas kedelai berbiji kecil sangat
cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 0,5-300 m dpl. Sedangkan varietas
kedelai berbiji besar cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 300-400 m dpl
(Najiyati & Danarti, 1997).
Pada
dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air
tetap tersedia. Kedelai juga membutuhkan tanah yang kaya akan humus atau bahan
organik. Bahan organik yang cukup dalam tanah akan memperbaiki daya olah dan
juga merupakan sumber makanan bagi jasad renik, yang akhirnya akan membebaskan
unsur hara untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman
kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis
tanah dengan syarat drainase dan aerasi
tanah cukup baik
serta ketersediaan air yang
cukup selama pertumbuhan tanaman. Tanaman
kedelai dapat tumbuh dengan
baik pada jenis tanah
Alluvial, Regosol, Grumusol,
Latosol atau Andosol. pertumbuhan
tanaman kedelai kurang baik pada
pH tanah
pasir, dan pH tanah yang baik
untuk pertumbuhan kedelai adalah
6 - 6.5 (Abidin, 2001).
2.2.2. Tata
Cara Penanaman Kedelai
1. Penanaman
Benih
yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi yaitu benih yang baik, yang memiliki vigor dan daya
kecambah yang tinggi. Benih yang digunakan adalah benih yang tidak cacat
fisiologisnya (Wirawan & Wahyuni, 2004). Menurut Suprapto (1999) sebelum
dilakukan penanaman
maka terlebih dahulu dipersiapkan lahan
yang akan digunakan untuk penanaman. Langkah awal dalam persiapan lahan adalah pengolahan
tanah. Pengolahan tanah bertujuan untuk memperbaiki struktur dan aerasi tanah
agar pertumbuhan akar dan penyerapan hara dapat berlangsung secara baik.
Pengolahan lahan kering dapat dilakukan dengan cara dibajak atau dicangkul agar
gembur. Tanah dibersihkan dari gulma, kemudian dibuat petakan dan
disekeliling petakan dibuat parit dengan lebar
20-25 cm sedalam 25-30 cm.
Sebelum
benih ditanam, terlebih dahulu benih disiapkan
sesuai kebutuhan. Setelah itu benih kedelai ditanam di dalam
lubang sedalam 3-4
cm dengan 3 butir
benih per lubang tanam. Selesai penanaman lubang ditutup kembali dengan tanah.
Setelah benih tumbuh dengan baik (7 hari setelah tanam), dilakukan penjarangan
dengan menyisakan 2
tanaman per lubang tanam (Wirawan & Wahyuni,
2004).
2.
Pemeliharaan
Penyiangan
dilakukan terhadap gulma yang tumbuh di sekitar tanaman dan dilakukan pada umur tanaman 2-3 minggu setelah tanam (Wirawan
dan Wahyuni, 2004). Pemupukan dasar dilakukan
dengan menggunakan pupuk nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K). Pupuk
tersebut diberikan saat tanam atau 1 minggu setelah tanam dengan cara disebar atau dimasukkan ke dalam lubang berjarak 4-5 cm di
samping lubang tanam. Adapun tujuan dari pupuk dasar N, P, dan K adalah
menyediakan unsur hara pokok yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh (Najiyati dan Danarti, 1997). Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan apabila ada tanda-tanda serangan hama
dengan menggunakan insektisida kimia, dan untuk
menghindari penyakit digunakan fungisida,
dapat juga dilakukan dengan kultur teknis (Wirawan & Wahyuni, 2004).
2.3. Varietas
Varietas unggul kedelai
memiliki sifat unggul tertentu dibandingkan dengan varietas lokal. benih dari
varietas unggul dapat meningkatkan produksi tanaman. Sifat unggul tersebut
antara lain potensi hasil tinggi, tahan hama/penyakit, berumur pendek, respon
terhadap pemupukan, toleran kekeringan, toleran lahan masam, penggunaan
varietas unggul akan mendorong tanaman tumbuh seragam, masak serempak, produksi
tinggi, dan akan meningkatkan efisiensi penggunaan benih (Suhartina, 2005).
Pada percobaan yang dilakukan Budi dan Hajoeningtijas (2009) menjelaskan
perlakuan varietas kedelai berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan
hasil kedelai, varietas Sinabung dan Ijen memiliki respon pertumbuhan yang
lebih baik dibandingkan dengan varietas Grobogan, sedangkan jumlah polong isi
tertinggi yaitu 285,5 buah polong dan
hasil biji kering 46,7 g/tanaman didapat pada varietas Sinabung.
Benih adalah rangkaian
terpenting dalam budidaya tanaman karena merupakan awal kehidupan tanaman,
sehingga untuk mendapatkan produksi yang tinggi perlu digunakan benih yang
bermutu tinggi (Mulyani, 2012). Ukuran benih merupakan faktor
penting dalam perkecambahan karena jumlah air dan cadangan makanan yang
diperlukan untuk pertumbuhan kecambah berdasarkan dengan ukuran benih itu
sendiri. Semakin besar ukuran benih
semakin besar pula cadangan makanan, sebaliknya semakin kecil benih semakin
kecil juga jumlah cadangan makanan yang ada (Nurmawati, 2010). Kebutuhan air
pada pertumbuhan benih berukuran besar berbeda dengan benih ukuran kecil.
Al-Karaki (1998) cit. Suwarno dan
Santana (2009) menyatakan benih berukuran besar menyerap air lebih banyak dan
cepat dibandingkan dengan benih sedang dan kecil.
Menurut Kartikasari (1999), tiap ukuran
benih memiliki hubungan nyata dengan
vigor benih karena vigor benih yang berukuran besar memilki kandungan kimia
utama yang lebih banyak untuk perkecambahan sebagai cadangan makanan
dibandingkan benih yang berukuran kecil. Suwarno dan Santana (2009) menyatakan
bahwa masing-masing jenis benih besar atau kecil memberikan respon yang berbeda
terhadap pengaruh substrat. Faktor utama perbedaan tersebut adalah sifat benih
yang erat hubungannya dengan kebutuhan air untuk menjadi kecambah normal. Hasil
penelitian Maryadi (2002), membuktikan pada ukuran benih kedelai 0,5 cm
memberikan hasil tertinggi mencapai 0,1 g/berat kering berkecambah dibandingkan
benih berukuran 0,4 dan 0,3 cm yang hanya mencapai 0,08 dan 0,06 g/berat kering
berkecambah.
2.4. Jarak Tanam
Jarak tanam dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Kecenderungan jarak tanam yang lebih
luas akan meningkatkan jumlah cabang, berat biji, dan produksi kedelai. Semakin lebar jarak tanam maka
semakin besar pemanfaatan sinar matahari untuk proses fotosintesis dan semakin
luas pengembangan tanaman sehingga cabang tanaman lebih banyak yaitu pada jarak
tanam 40x20 cm dengan rata-rata jumlah cabang 4,75 buah (Barus, 2004). Kaswara (1982) cit. Barus (2004) menyatakan bahwa kerapatan tanam (jarak tanam)
mempengaruhi populasi tanaman dan keefisienan penggunaan cahaya. Selain itu
antar tanaman akan terjadi perebutan dalam menggunakan air dan zat hara sehingga
akan mempengaruhi hasil kedelai.
Penentuan jarak tanam tergantung pada daya tumbuh benih
yang dipakai, kesuburan tanah, musim dan varietas yang ditanam. Benih yang
memiliki sifat fisik dan daya tumbuhnya tinggi lebih baik menggunakan jarak
tanam yang lebar. Sebaliknya apabila benih yang digunakan kurang baik
pertumbuhannya sebaiknya menggunakan jarak tanam yang lebih sempit karena dapat
mempengaruhi hasil tanaman dan jumlah populasi yang ditanam (Supriono, 2000).
Keuntungan dari jarak tanam yang rapat adalah permukaan tanaman dapat segera
tertutup sehingga pertumbuhan gulma terhambat, benih yang tidak tumbuh atau
mati tidak terlihat jarang, namun ada juga kerugiannya yaitu, ruas batang
tumbuh memanjang hingga batang tanaman lemah dan mudah roboh, hasil polong
pertanaman berkurang, dan penyiangan sukar dilakukan (Murrinie, 2010). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurman et al.
(2005) bahwa jarak tanam 40x10 cm berpengaruh nyata terhadap hasil kacang tanah
dengan bobot biji kering 1,8 ton/ha dibandingkan dengan jarak tanam 40x20 cm dan jarak tanam 40x30
cm.
Percobaan yang dilakukan Sutrisno
dan Titiek (2004), menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam 20x30 cm
menghasilkan jumlah polong paling banyak yaitu 21,250 polong yang berbeda nyata
dengan jarak tanam 20x20 cm dan jarak tanam 20x40 cm. Semantara itu menurut
hasil penelitian Kadekoh (2007) komponen hasil dalam bentuk jumlah polong isi
per tanaman dan jumlah biji per tanaman kacang tanah tertinggi dicapai pada
jarak tanam yang lebar yaitu 40x30 cm pada musim hujan ataupun kemarau.
2.5. Tanah Gambut
Tanah gambut memiliki
kapasitas penyimpanan air yang besar yaitu 10 kali lebih besar dari tanah
mineral, sehingga dengan kandungan air yang tinggi ini merupakan pembatas bagi
pertumbuhan akar, karena akar akan kekurangan oksigen dan tidak bisa bernapas
(Hakim et al., 1986). Faktor penghambat
yang dijumpai dalam usahatani di lahan gambut adalah kemasaman tanah yang
tinggi, kejenuhan basa (KB) yang rendah, kahat unsur hara N, P, K, Ca, Mg, dan
beberapa unsur hara mikro seperti Cu, Zn, dan Mn. Penggunaan kapur merupakan
usaha untuk mengatasi kemasaman tanah dan kejenuhan basa yang rendah (Hardjowigeno, 2003).
Tanaman palawija
seperti tanaman jagung, kedelai, keladi, ubi kayu dan ubi rambat yang ditanam di lahan gambut umumnya untuk
mencukupi kebutuhan pangan petani. Tingkat kemasaman tanah gambut yang sangat
tinggi dan kesuburan tanah yang rendah merupakan masalah yang dihadapi petani
palawija setelah mereka melakukan perbaikan drainase tanah gambut. Untuk
meningkatkan kesuburan tanah, petani memerlukan masukan abu yang didapatkan
dari pembakaran semak belukar dan
gambut, pembakaran dilakukan pada musim kemarau (Wahyono & Suprapto,
2005).
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah
gambut dikenal sebagai organosol
atau histosol yaitu tanah yang memiliki lapisan
bahan organik dengan berat jenis (Bulk
Density/BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3
dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal >
40 cm (Soil Survey
Staff , 2003 cit.
Agus & Subiksa, 2008). Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang
berbeda yaitu dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan
posisi
pembentukannya. Berdasarkan
tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: 1) gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan
asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam dan bila diremas
kandungan seratnya < 15%, 2) gambut hemik
(setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih
bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15-75% dan 3)
gambut fibrik (mentah) adalah gambut
yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan
bila diremas >75% seratnya masih tersisa (Agus & Subiksa, 2008).
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut
dibedakan menjadi 3 yaitu: 1) gambut eutrofik
adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa (suatu ion
bermuatan positif yang terikat pada atau dekat pemukaan bermuatan padatan oleh
permukaan koloid bermuatan negatif dan dapat digantikan oleh ion-ion bermuatan
positif lainnya dalam larutan tanah). Gambut
yang relatif subur
biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen
(partikel yang ditransportasi dan didepositkan dari
bahan batuan, tanah atau
biologi
sungai atau laut), 2) gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan
basa-basa sedang dan 3) gambut oligotrofik adalah
gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal
yang jauh dari pengaruh
lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik
(Agus &
Subiksa, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar