Social Icons

Kamis, 19 Desember 2013

Pengaruh Pemberian Beberapa Dosis Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merrill)

I.       PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditi pangan utama setelah padi dan jagung, tergolong tanaman kacang-kacangan sebagai sumber protein, lemak, serta vitamin. Setiap 100 gram biji kedelai rata-rata mengandung 330 kalori, 35% protein, 18% lemak, 35% karbohidrat, 10% air, serta beberapa mineral seperti Ca, Fe, vitamin A, dan vitamin B1 (Pato dan Yusuf, 2002). Biji kedelai, selain sebagai bahan makanan juga merupakan bahan dasar untuk industri pangan, sedangkan batang dan daunnya juga dapat bermanfaat sebagai pakan ternak, pupuk hijau dan akar-akar yang tertinggal di dalam tanah maupun daun yang rontok dapat memperbaiki kesuburan tanah (Suprapto,1995).
Kedelai mempunyai prospek untuk dikembangkan di Riau, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya produksi kedelai dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 produksi kedelai sebesar 7.350 ton biji kering atau naik sebesar 36.08% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 5.830 ton biji kering (Badan Pusat Statistik, 2012). Produksi kedelai di Riau masih tergolong rendah disebabkan pandangan petani yang menganggap kedelai sebagai tanaman sampingan sehingga rendahnya penerapan teknologi budidaya kedelai dan bergesernya lahan pertanian menjadi pemukiman dan perindustrian. Berdasarkan data di atas maka produksi kedelai perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Semakin sempitnya lahan pertanaman yang ideal bagi pertumbuhan tanaman, menjadi kendala tersendiri. Hal tersebut terjadi karena banyaknya lahan pertanian yang dijadikan areal pemukiman, sehingga lahan yang tersedia adalah lahan marginal, salah satunya adalah lahan gambut (Gemayel, 2008).
Nerty et al. (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk memperbaiki kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas lahan adalah dengan melakukan pemupukan. Untuk mendapatkan efisiensi pemupukan yang optimal, pupuk harus diberikan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman dan sesuai dengan jenis tanah. Kalium merupakan salah satu unsur hara makro yang menentukan hasil dan kualitas hasil tanaman kedelai.
Penambahan unsur hara mikro dapat dilakukan dengan pemberian amelioran. Abu janjang kelapa sawit dapat digunakan sebagai salah satu amelioran di tanah karena mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun mikro, mampu meningkatkan pH tanah dan memiliki kejenuhan basa yang tinggi. Abu janjang kelapa sawit berasal dari  limbah-limbah padat janjang kosong kelapa sawit yang telah mengalami pembakaran di dalam incinerator di pabrik kelapa sawit dan bisa juga pembakarannya dilakukan secara manual. Limbah janjang kosong merupakan limbah dengan volume yang paling banyak dari proses pengolahan tandan buah segar (TBS) pada pabrik kelapa sawit yang mencapai 21% dari TBS yang diolah.  Abu janjang kelapa sawit memiliki kandungan 30-40 % K2O, 7% P2O5, 9 % CaO, dan 3% MgO. Selain itu juga mengandung unsur hara mikro yaitu 1.200 ppm Fe, 100 ppm Mn, 400 ppm Zn, dan 100 ppm Cu (Bangka, 2010). Soepardi (1983) menyatakan bahwa abu cenderung meningkatkan unsur hara P, K, Ca dan Mg serta meningkatkan unsur hara N bagi tanaman.
Menurut Lakitan (1996), kalium berperan dalam translokasi gula pada pembentukan pati dan protein, membantu proses membuka dan menutupnya stomata, efisiensi penggunaan air, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan-serangan hama dan penyakit, memperkuat tubuh tanaman, bunga dan buah tidak mudah rontok serta memperbaiki ukuran dan kualitas buah pada masa generatif.
Menurut penelitian Nerty et al. (2008) pemberian dosis  abu janjang kelapa sawit yang terbaik untuk tanaman kacang hijau adalah 4,5 ton/ha  dengan hasil 198,25 gram per petak. Penelitian lain tentang penggunaan abu janjang kelapa sawit pada beberapa tanaman menyimpulkan bahwa dengan pemberian abu janjang kelapa sawit 5 ton/ha di lahan gambut pada tanaman kedelai mampu meningkatkan produksi biji kering menjadi 1,94 ton/ha (Lahuddin, 2000)
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ Pengaruh Pemberian  Beberapa Dosis Abu Janjang Kelapa Sawit Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Dua Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merrill)”.

1.2.  Tujuan
1.      Mengetahui pengaruh pemberian beberapa dosis abu janjang kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.
2.      Untuk mengetahui interaksi antara pemberian dosis abu janjang kelapa sawit dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.

1.3.  Manfaat
1.      Memberikan informasi tentang dosis abu janjang kelapa sawit  yang tepat pada tanaman kedelai.
2.      Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

1.4.  Hipotesis
1.      Pemberian beberapa dosis abu janjang kelapa sawit memberi pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.
2.      Ada interaksi antara pemberian dosis abu janjang kelapa sawit dan varietas terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.







II.    TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Kedelai
2.1.1. Botani dan Morfologi
Tanaman kedelai (Glycine max (L) Merril ) merupakan salah satu tanaman semusim yang sudah lama dibudidayakan di Indonesia. Berdasarkan klasifikasinya termasuk Divisio: Spermathopyta, Subdivisio: Angiospermae, Famili: Popilonoidae, Kelas: Dicotyledonae, Ordo: Rosales, Famili: Leguminosae, Genus: Glycine, Species: Glycine max (L.) Merrill (Sumarno dan Harnoto, 1983).
Sistem perakaran tanaman kedelai terdiri dari akar tunggang, akar sekunder (serabut) yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang tumbuh dari akar sekunder. Akar tunggang merupakan perkembangan dari akar radikal yang sudah mulai muncul sejak masa perkecambahan. Akar ini mempunyai akar-akar cabang yang lurus. Akar serabut merupakan akar yang tumbuh ke bawah sepanjang 20 cm. Tanaman ini juga memiliki akar-akar lateral (cabang) yang tumbuh ke samping sepanjang 5-25 cm. Pada akar lateral terdapat akar serabut, fungsinya untuk menghisap air dan unsur hara, pada akar ini juga terdapat bintil akar (nodule) yang mengandung bakteri Rhizobium, kegunaannya sebagai pengikat zat nitrogen dari udara (Departemen Pertanian, 2006).
Pada tanaman kedelai dikenal dua tipe pertumbuhan batang, yaitu determinit dan indeterminit. Jumlah buku pada batang akan bertambah sesuai pertambahan umur tanaman, tetapi pada kondisi normal jumlah buku berkisar antara 15-20 buku dengan jarak antar buku berkisar antara 2-9 cm. Batang pada tanaman kedelai ada yang bercabang dan pula yang tidak memiliki cabang, tergantung dari karakter varietas kedelai, tetapi pada umunya cabang pada tanaman kedelai berjumlah 1-5 cabang (AAK, 2000).
Daun kedelai termasuk daun majemuk dengan tiga buah anak daun. Helaian daun berbentuk oval dengan ujung lancip. Apabila sudah tua, daun-daun ini akan menguning dan berguguran mulai bagian bawah (Najiyati dan Danarti, 1997)
Bunga kedelai termasuk bunga sempurna dalam setiap bunga terdapat bunga jantan dan betina. Usia kedelai sampai berbunga bervariasi, tergantung varietasnya yang dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu. Kedelai mulai berbunga pada umur 30-50 hari  dengan warna bunga ungu atau putih (Suprapto, 1995). Menurut  Adisarwanto (2008) bunga pada tanaman kedelai umumnya muncul atau tumbuh pada ketiak daun, tetapi kadang bunga dapat pula terbentuk pada cabang tanaman yang mempunyai daun. Hal ini karena sifat morfologi cabang tanaman kedelai serupa atau sama dengan morfologi batang utama. Pada kondisi lingkungan tumbuh dan populasi tanaman optimal, bunga akan terbentuk mulai dari tangkai daun yang paling bawah. Dalam satu kelompok bunga, pada ketiak daunnya akan berisi 1-7 bunga, tergantung karakter dari varietas kedelai yang ditanam
Buah kedelai berbentuk polong, banyaknya polong tergantung pada jenis atau varietasnya. Dalam satu polong biasanya berisi 1-4 biji. Bentuk biji kedelai tidak sama tergantung varietas, ada yang berbentuk bulat, agak gepeng atau bulat telur. Namun, sebagian besar biji kedelai berbentuk bulat telur. Ukuran dan warna biji kedelai juga tidak sama, tetapi sebagian besar berwarna kuning dengan ukuran biji kedelai yang dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu berbiji kecil (<10 g/100 biji), berbiji sedang (10-12 g/100 biji), dan berbiji besar (13-18 g/100 biji). Polong kedelai pertama kali muncul sekitar 10-14 hari setelah bunga pertama muncul. Warna polong yang baru tumbuh berwarna hijau dan selanjutnya akan berubah menjadi kuning atau cokelat pada saat dipanen (Fachrudin, 2000).

2.1.2. Syarat Tumbuh Kedelai
Di indonesia kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran rendah sampai ketinggian 900 m diatas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian telah banyak varietas kedelai dalam negeri dan kedelai introduksi yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi (pegunungan) ± 1200 m dpl. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan dengan iklim sangat lembab. Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34º C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai adalah 23-27º C. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu sekitar 30º C (Rukmana dan Yuniarsih, 1996). 
Kedelai tumbuh dengan baik disetiap tanah yang subur, gembur dan kaya akan humus atau bahan organik, pH yang cocok untuk tanaman kedelai berkisar antara 5,8-7,0, namun kedelai masih dapat tumbuh pada tanah masam (pH rendah) seperti pada tanah Podsolik Merah Kuning (PMK) dengan jalan pengapuran dan pemupukan untuk meningkatkan pH tanah dan tersedianya unsur hara pada keadaan seimbang (Suprapto, 1995).

2.1.3.      Budidaya Kedelai
2.1.3.1.       Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah bertujuan untuk memperoleh struktur tanah yang gembur, drainase dan aerase tanah yang cukup baik, sehingga akar-akar kedelai dapat tumbuh sempurna, terutama pada penanaman di tanah tegalan pada awal musim penghujan. Pengolahan tanah sangat penting sebab tanah yang diolah dan dibolak-balik disamping menjadi subur dan bisa mengendalikan tumbuhan pengganggu atau gulma. Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan pembajakan atau pencangkulan satu atau dua kali, kemudian tanah diratakan (AAK, 2000).

2.1.3.2.      Penanaman
Benih kedelai ditanam dengan cara ditugal 3-5 biji per lubang tanam. Lubang tanam dibuat berkisar antara 3-4 cm. Produksi kedelai akan menurun apabila ditanam di luar waktu tanam optimal. Penurunan hasil tersebut berkaitan dengan kondisi kelembaban tanah atau curah hujan, suhu, panjang hari, dan perkembangan hama penyakit (Departemen Pertanian, 2012).

2.1.3.3.       Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan mulai awal tanam sampai tanaman dipanen, pemeliharaan meliputi penyiangan dan pengairan. Penyiangan yang dilakukan beberapa kali untuk menghindari terjadinya persaingan antara tanaman utama dan gulma yang tumbuh disekitar tanaman. Penyiangan dapat dilakukan dengan cara mencabut dan mekanis. Dengan cara mekanis yakni dengan membongkar gulma dengan menggunakan cangkul atau parang. Kedelai termasuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, oleh karena itu pengairan diperlukan sejak awal pertumbuhan sampai pada masa polong mulai berisi. Pengaturan kelembapan tanah sangat penting  pada waktu hujan tanah dapat diairi secukupnya (AAK, 2000).

2.1.3.4.      Pengendalian Hama dan Penyakit
Keberhasilan dalam bertanam kedelai tidak lepas dari kesuksesan mengendalikan hama dan penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman kedelai adalah sebagai berikut: Aphis spp (Aphis glycine), kumbang daun tembungkur (Phaedonia inclusa), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites sp), ulat polong (Ethiela zinchenella), lalat kacang (Ophiomyia phaseoli), kepik hijau (Nezara viridula), ulat grayak (Prodenia litura), sedangkan penyakit utama pada tanaman kedelai adalah sebagai berikut: karat daun (Phakopsora pachyrhyzi), penyakit layu, penyakit sapu, virus mosaik dan busuk batang (AAK, 2000).
Menurut Adisarwanto (2008) pengendalian hama secara terpadu merupakan suatu kombinasi beberapa cara pengendalian yang bertujuan agar populasi atau tingkat kerusakan hama berada di bawah nilai ambang ekonomis, artinya populasi hama yang ada secara ekonomis tidak merugikan petani karena tingkat kerusakan sangat ringan. Aplikasi pestisida dan insektisida yang efektif, disesuaikan dengan keperluan, yaitu menurut intensitas serangan atau populasi hama berdasarkan hasil pengamatan atau apabila telah mencapai ambang ekonomi, baru dilakukan penyemprotan dengan menggunakan insektisida atau pestisida.

2.1.3.5.      Panen
Umur tanaman kedelai selain telah ditetapkan deskripsi varietas yang ditanam, waktu panen juga ditentukan oleh banyaknya polong yang telah berubah warna menjadi cokelat kekuning-kuningan. Pemanenan yang dilakukan pada waktu yang tepat dapat meningkatkan nilai tambah karena menghasilkan biji/benih kedelai bermutu baik. Cara panen yang biasa dilakukan di Indonesia umumnya masih tradisional, yaitu dengan cara memotong tanaman kedelai sedekat mungkin dengan permukaan tanah. Keuntungan panen dengan menggunakan sabit adalah hanya batang tanaman kedelai yang dipotong sehingga bintil akar yang mengandung bakteri Rhizobium masih tetap ada atau tersisa di dalam tanah. Dengan demikian populasi bakteri tersebut bisa terus bertambah di dalam tanah dan akan bermanfaat untuk penanaman selanjutnya (Adisarwanto, 2008).

2.2.      Abu Janjang Kelapa Sawit
Janjang kosong atau tandan kosong kelapa sawit berasal dari tandan buah segar (TBS) setelah buah dirontokkan. Tandan kosong ini merupakan limbah padat organik dari pabrik sawit. Pembuangan limbah ini di area pabrik sawit merupakan kendala karena volumenya amat besar, sehingga dalam pengakumulasiannya membutuhkan area yang luas. Untuk mengatasi masalah ini dilakukan pembakaran tandan kosong tersebut dalam incinerator (tanur) yang dibangun di sekitar pabrik. Abu tandan kosong dari hasil pembakaran ini lebih mudah diakumulasikan, biaya angkut lebih murah dan tidak membutuhkan tempat yang luas. Akumulasi abu tandan kosong tersebut juga mengalami kesulitan karena produksinya setiap hari yang terus bertambah untuk mengatasinya abu janjang ini telah dianjurkan digunakan sebagai pupuk (Lahuddin, 2000). Loekito (2002) menambahkan bahwa di areal gambut, penggunaan janjang kosong (JJK) sebagai sumber pupuk tidak dimungkinkan karena terkendala transportasi. Sarana transportasi di areal gambut, khususnya gambut pasang surut sangat khas dengan sistem kanal (water way). Salah satu upaya yang dilakukan adalah merubah JJK menjadi abu janjang melalui pembakaran dengan incinerator. Keuntungan produk abu janjang dibandingkan dengan JJK adalah volume lebih kecil, mudah penyimpanan (penggudangan), mudah diaplikasikan dan biaya relatif lebih murah.
Abu janjang kelapa sawit merupakan alternatif  pilihan sebagai pupuk kalium karena mengandung K20 sebanyak 35-40% dan harganya jauh lebih murah dibanding KCl maupun pupuk K lainnya. Pemberian abu janjang kelapa sawit memiliki keuntungan karena mengandung kalium yang tinggi sehingga dapat mengurangi bahkan meniadakan penggunaan pupuk KCl. Abu janjang kelapa sawit dilihat sebagai produk yang bernilai tinggi dan dianggap penting untuk membantu dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman (Pahan, 2008).
Menurut Potrama (1994) semakin tinggi kalium yang bisa diserap tanaman maka proses pengisian polong akan lancar dan persentase polong bernas semakin meningkat, disamping itu kalium juga dapat menjadikan biji masak lebih sempurna. Lingga (1986) menambahkan bahwa fungsi kalium yaitu untuk membantu pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium juga berperan dalam memperkuat tubuh tanaman, akar, daun, bunga dan buah tidak mudah gugur.
Menurut Lahuddin (2000) selain keuntungan dari segi budidaya juga akan diperoleh keuntungan  yang bersifat ekonomis, dengan kata lain abu janjang  kelapa sawit dapat mensubtitusikan pupuk sekurang-kurangnya pupuk kalium. Irianto (2009) menambahkan bahwa pemberian abu janjang kelapa sawit dapat meningkatkan bobot kering tanaman, jumlah buah per tanaman, bobot per buah dan bobot pertanaman pada tanaman mentimun. Sedangkan menurut Sari (2011) pemberian dosis  abu janjang kelapa sawit yang terbaik pada beberapa varietas tanaman kedelai adalah  900 kg/ha.
Peningkatan dosis abu janjang kelapa sawit pada dua jenis bunga krisan meningkatkan jumlah cabang, jumlah daun dan jumlah bunga mekar, namun merubah tingkat warna bunga krisan kearah warna yang kurang cerah (Handajaningsih dan Wibisono, 2009). Sasli (2011) menambahkan bahwa peningkatan pH tanah cukup nyata setelah diinkubasi dengan abu janjang kelapa sawit. Pengaruh abu janjang kelapa sawit terhadap kenaikan pH pada tiga jenis tanah, yaitu Pedsolik, Regosol dan Aluvial. Hasilnya menunjukkan terjadi kenaikan pH untuk ketiga jenis tanah tersebut menjadi berkisar antara 6,07 – 6,09  dengan rata-rata kenaikan sebesar 0,5 – 1,5 pada pemberian abu janjang kelapa sawit sebanyak 8,4 g/ 500 g tanah setara bobot kering. 


DAFTAR PUSTAKA


 AAK. 2000. Kedelai. Kanisius, Yogyakarta. 84 hal.

Adisarwanto, T. 2008. Budidaya Kedelai. Penebar Swadaya. Yogyakarta. 65 hal.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Kedelai Riau. http://Riau.bps.go.id/press-release/021112/produksi-padi%2c-jagung%2c-kedelai-Riau-angka-2012. Diakses 27 Desember 2012.

Bangka, B. 2010. Pemanfaatan Limbah Kelapa Sawit. Http://Budakbangka.blogspot.com/2005//pemanfaatan-limbah-kelapa-sawit. Diakses 20 Maret 2013.

Departemen Pertanian. 2006. Budidaya Kedelai Tanpa Olah Tanah. http://deptan.go.id/teknologi/tp/tkctanah1.htm. Diakses 27 Desember 2012.

Departemen Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Pengelolaan Produksi Tanaman Kedelai. http://deptan.go.id/docupload/isipedomantekniskedelai2012. Diakses 29 Desember 2012.

Fachrudin, L. 2000. Budidaya Kacang-kacangan. Kanisius. Yogyakarta. 118 hal.

Gemayel, E.l. 2008. Studi pengaruh pemberian mikoriza vesikular arbuskula (MVA) terhadap beberapa varietas kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) pada media sub-optimum. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Handajaningsih, M. dan T. Wibisono. 2009. Pertumbuhan dan pengembangan krisan dengan pemberian abu janjang kelapa sawit sebagai kalium. Jurnal Akta Agrosia, 12(1): 8-14. 

Irianto. 2009. Pertumbuhan dan hasil tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) pada beberapa jenis abu. Jurnal Agronomi, 13 (1): 13-16.

Lahuddin. 2000. Pemanfaatan abu tandan kosong kelapa sawit sebagai pupuk di Indonesia. In Prosiding Hasil-Hasil Penelitian Ilmu-Ilmu Pertanian. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Wilayah Barat (BKS. N Barat) Bidang Ilmu Pertanian UNRI. Pekanbaru. Hal 123- 127. 

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 218 hal.  

Lingga, P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. 163 hal. 

Loekito, H. 2002. Teknik pengolahan limbah industri kelapa sawit. Jurnal Teknologi Lingkungan, 3 (3): 242-250.

Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. 276 hal.

Najiyati, S. dan Danarti. 1997. Palawija, Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penebar Swadaya. Jakarta. 114 hal.

Nerty, S., Evita, dan A Heris.  2008. Pengaruh beberapa dosis abu janjang kelapa sawit terhadap pertumbuhan dan hasil kacang hijau (Vigna radiata L). Jurnal Agronomi, 12 (2):1-6.

Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. 424 hal.

Pato, U. dan Y. Yusuf. 2002. Gizi dan Pangan. UNRI Press. Pekanbaru. 43 hal.

Potrama, N. 1994. Pengaruh abu janjang ekstrak air terhadap pertumbuhan dan serapan hara makro dan tanaman melalui media pasir. Tesis. Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara Medan. Medan.

Rukmana, R. dan Y. Yuniarsih. 1996. Kedelai, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. 35 hal.

Sari, I. 2011. Studi ketersediaan dan serapan hara mikro serta hasil beberapa varietas kedelai pada tanah gambut yang diameliorasi abu janjang kelapa sawit . Skripsi. Universitas Andalas.

Sasli, I. 2011. Karakterisasi gambut dengan berbagai bahan amelioran dan pengaruhnya terhadap sifat fisik dan kimia tanah guna mendukung produktivitas lahan gambut. Jurnal Agrovigor, 4 (1): 42-50.

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. 276 hal

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Institut Pertanian Bogor. 65 hal.

Sumarno dan Harnoto. 1983, kedelai dan cara bercocok tanamnya. Buletin Teknologi  Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 6: 1-63.

Suprapto. 1995. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta. 74 hal.



1 komentar:

  1. PALM BUNCH ASH pupuk abu Pupuk Abu Janjangan Sawit sebagai pengganti KCL dengan unsur hara k2o 30% sangat bagus untuk pertumbuhan sawit dan memperbaiki struktur tanah

    info lebih lanjut
    hub 085270424984(WA)

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates