I. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas hutan
mangrove terluas di dunia dengan keragaman hayati terbesar dan struktur paling
bervariasi (Noor, dkk. 1999).
Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial dalam Gunarto (2004) luas hutan mangrove di
Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 860 juta hektar akan tetapi
sekitar 530 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas
hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau
19% dari luas hutan mangrove di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).
Salah satu bagian
terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah
wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2.
Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan
wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang
mengandung produksi biologi cukup besar
serta jasa lingkungan lainnya.
Wilayah pesisir merupakan
ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa
ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Sebagian besar garis
pantai perairan Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan tropis
atau hutan mangrove, kadang-kadang terbentuk pantai yang berbatasan dengan
pasir berbatu atau karang lunak dan terletak di belakang pinggiran terumbu
karang, terutama di dekat muara sungai (Saparinto, 2007).
Ekosistem mangrove dengan fungsi yang unik dalam
lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan
mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi.
Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta
penahan intrusi dan abrasi air laut. Proses dekomposisi serasah bakau yang
terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Keunikan lainnya
adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai sumber penghasilan masyarakat
desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora-fauna
pesisir, serta dapat di kembangkan sebagai wanawisata untuk kepentingan
pendidikan dan penelitian (Arief 2003).
|
Luas hutan
mangrove di Kabupaten Bengkalis pada tahun 1997 diperkirakan mencapai 69.000
ha, berkurang menjadi 50.765,04 ha pada tahun 2002 (Anonim, 2004). Adanya
perubahan tata guna dan fungsi lahan mangrove serta berbagai aktivitas
pembukaan lahan telah menyebabkan semakin berkurangnya luas hutan mangrove dan
terjadinya perubahan komposisi vegetasi pada berbagai strata pertumbuhan seperti
seedling, sapling dan pohon. Menurut Bengen (2001)
kerusakan dan gangguan pada strata pertumbuhan dapat menjadi kendala pada
proses regenerasi pohon mangrove di masa yang akan datang.
Dengan memiliki hutan mangrove yang cukup luas, maka
diperlukan pemikiran yang tepat untuk untuk pengelolaannya, agar pendayagunaan
hutan mangrove yang berkelanjutan dapat tercapai. Untuk mencapai hal tersebut,
pengelolaan hutan mangrove harus didasarkan pada informasi ilmiah yang cukup
dan lengkap. Sehingga penelitian mengenai struktur komunitas mangrove perlu
dilakukan.
1.2. Perumusan
Masalah
Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten
Bengkalis mengalami kerusakan. Kegiatan manusia yang berupa pembukaan
lahan dan pengambilan kayu mempengaruhi ekosistem mangrove serta dapat merubah
struktur komunitas vegetasi mangrove. Terjadi perubahan struktur komunitas
vegetasi mangrove dan ini harus diatasi, maka diperlukan kajian tentang struktur komunitas vegetasi mangrove. Kajian
ini diharapkan bisa memberikan informasi sebagai pedoman kebijakan pengelolaan
mangrove pada masa yang akan datang di Kecamatan Bukit batu ini.
Sebelumnya pada tahun 2009 di salah satu Desa
pada Kecamatan Bukit Batu yaitu Desa Dompas telah diadakan Rehabilitasi
penanaman sekitar 50 ribu batang mangrove sumbangan dari Bank Dunia yang
langsung diterima oleh LSM di Desa
Dompas ini ,berhubung kinerja LSM tersebut tidak berjalan maka penanaman
dilakukan oleh masyarakat setempat dengan dikoordinir langsung oleh Kepala Desa
Dompas.
1.3. Tujuan dan
Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas vegetasi
mangrove di Kecamatan Bukit Batu Kota Kabupaten Bengkalis dan sekaligus melihat
secara labih lanjut pertumbuhan mangrove rehabilitasi hasil partisipasi
masyarakat yang telah sebelumnya dilaksanakan di Desa Dompas . Hasil
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai struktur komunitas
mangrove, sehingga dapat dijadikan sebagai informasi awal dalam kebijakan
pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di
daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara
sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al,
2003).
Menurut Nybakken (1992), hutan
mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang
khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan
asin.
Luas vegetasi mangrove di Indonesia mencapai 75%
dari total mangrove di Asia Tenggara, atau 27% dari luas mangrove di Dunia.
Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang
tertinggi di Dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah Sumatra, Kalimantan dan
Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar
pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa
seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993 (Dahuri, 2002).
Supriharyono (2000) mengatakan bahwa tumbuhan mangrove
mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi
lingkungan fisika-kimia dilingkungannya. faktor-faktor yang menentukan
penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus pasang tinggi dan rendahnya
penggenangan air pasang menentukan salinitas tanah, selanjutnya tanah akan
menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Seperti Avicennia marina dan Lumnitzera racemosa yang
tahan pada salinitas diatas 40 0/00. S. caseolaris,
Aegiceras corniculata hidup pada salinitas rendah (10 0/00)
spesies ini sebagai indikator adanya air tawar. S. alba, S. spetala
dan S. grifihii hidup pada salinitas normal, spesies dari genus Bruguiera
tumbuh pada salinitas di bawah 25 0/00, B. parvifflora
pada salinitas 20 0/00, B. gymnorhiza pada
salinitas 10-25 0/00 dan B. secangula pada
salinitas 10 0/00.
Mangrove tersebar di seluruh pantai tropik dan sub tropik.
Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang.
Bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan
menjatuhkan akarnya. Mangrove berkembang baik di daerah estuari tropik dan
tersebar pada berbagai daerah. Mangrove juga ditemukan diluar daerah tropik
seperti di pantai utara Meksiko, sepanjang pantai barat dari bagian sentral dan
utara Amerika utara dan Afrika, dan sampai ke selatan pulau di Selandia Baru
(Dahuri et al., 1996).
Keadaan hutan mangrove di daerah Bengkalis dan sekitarnya
sedikit berlainan bila dibandingkan dengan hutan mangrove di Kepulauan Riau.
Habitat umumnya tanah liat berlumpur hitam, bentuk batang tegakan umumnya
bengkok dengan diameter cukup besar. Ketebalan hutan berkisar 100-500 m
(Anonim, 1978).
Ekosistem mangrove
juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding
ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun
ataupun terumbu karang.
2.2. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Santoso dan Arifin
(1998) menyatakan ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis, biologis dan ekonomis. Fungsi hutan mangrove adalah :
a. Fungsi
ekologis : (1) pelindung garis
pantai dari abrasi; (2) mempercepat perluasan pantai melalui
pengendapan; (3) mencegah intrusi air laut ke daratan; (4) tempat
berpijah aneka biota laut; (5) tempat berlindung dan berkembangbiak
berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga; (6)
sebagai pengatur iklim mikro.
b. Fungsi
Biologi : (1) nursery ground , feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya;
(2) habitat berbagai kehidupan liar.
c. Fungsi
ekonomis : (1) penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan
bangunan, bahan makanan, obat-obatan); (2)
penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak
kulit, pewarna); (3) penghasil
bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu dan telur burung; (4) pariwisata, penelitian, dan
pendidikan.
Secara
ekonomi, mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat,
baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan. selain itu kayu dari
tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas,
bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan juga saat
ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi
atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara (http://web.ipb.ac.id).
Secara
fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung
dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove ini
mampu menghasilkan zat-zat nutrient yang mampu menyuburkan perairan laut dan berperan dalam siklus karbon,
nitrogen dan sulfur (http://web.ipb.ac.id).
2.3. Tipe
Struktur Vegetasi Mangrove
Secara sederhana, mangrove umumnya
tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair
payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar (Rusila et al. 2006).
a.
Mangrove terbuka
Mangrove berada pada bagian yang
berhadapan dengan laut. Samingan (1980) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona
ini didominasi oleh Sonneratia
alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut. Komiyama et al (1988) menemukan
bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik
dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S.
alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora
mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun
demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah
lumpurnya kaya akan bahan organic (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).
b. Mangrove tengah
Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove
zona terbuka. Di zona ini biasanya
didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun, Samingan (1980) menemukan di Karang Agung
didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di
Karang Agung adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata,
Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c. Mangrove payau
Mangrove berada di sepanjang sungai
berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau
Sonneratia. Di Karang Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur
yang sempit di sepanjang sebagian
besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan N. fruticans yang bersambung
dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena
palustris dan Xylocarpus
granatum. Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering
ditemukan. Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di
Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai
Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair
hampir tawar (Giesen and Balen, 1991).
d.
Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan
payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum
ditemukan pada zona ini termasuk Ficus
microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus
moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis
yang lebih tinggi dibandingkan
dengan zona lainnya.
2.5. Gangguan Hutan Mangrove
Gangguan hutan adalah suatu
kekuatan utama yang akan menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan pada
struktur dan komposisi hutan. Gangguan pada hutan dapat terjadi secara alami
seperti kebakaran hutan, banjir, gempa bumi, angin dan kematian karena hama
atau penyakit. Gangguan dapat juga
terjadi oleh karena aktivitas manusia seperti penebangan kayu. Gangguan alami
merupakan faktor penting dalam mempengaruhi perkembangan ekosistem dan gangguan
yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat menyebabkan perubahan pada
struktur dan komposisi hutan (Ortlepp 2000).
Klasifikasi hutan mangrove berdasarkan
kerapatannya adalah sebagai berikut : mangrove
primer, mangrove sekunder,
dan mangrove jarang. Mangrove primer adalah
mangrove dengan kerapatan
vegetasi tingkat pohon antara
500 – 1.000
pohon/ha, mangrove sekunder
adalah mangrove dengan kerapatan vegetasi
tingkat pohon antara
200 s/d 499
pohon/ha, sedangkan mangrove jarang adalah mangrove dengan kerapatan
vegetasi tingkat pohon di bawah 200
pohon/ha (Ditjen RLPS, 2002).
Kriteria hutan yang mengalami gangguan
ringan yaitu: 1). Intensitas gangguan sedikit sedang. 2). Penyebab utama
terjadinya gangguan adalah: gangguan alami dengan skala kecil seperti angin.
3). Vegetasi terdiri dari semai, pancang, tiang dan pohon yang berdiameter
besar. 4). Tidak ada perubahan signifikan pada struktur hutan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan
kerusakan mangrove adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1. Kerusakan Mangrove
Berdasarkan Kerapatan Pohon
Kriteria
|
Penutupan (%)
|
Kerapatan (Pohon/ha)
|
Kondisi
|
Sangat Padat
|
> 75
|
1500
|
Baik
|
Sedang
|
> 50 - < 75
|
> 1000 - < 1500
|
Sedang
|
Jarang
|
< 50
|
< 1000
|
Rusak
|
Menurut ITTO (2002) tingkat gangguan
dikawasan hutan dapat dibedakan atas berbagai tingkat yaitu gangguan berat,
gangguan sedang dan gangguan ringan. Kriteria kawasan hutan yang mengalami
gangguan berat yaitu: 1). Tingkat gangguan parah dan kerusakan mencapai 90%
dari penutupan hutan alami. 2). Penyebab utama terjadinya gangguan adalah:
pengambilan kayu dalam jumlah yang besar, pemanenan hasil hutan non-kayu yang
berlebihan, adanya gangguan alam seperti kebakaran dan badai. 3). Vegetasi pada
hutan yang mengalami gangguan berat didominasi oleh semak-semak, pakis dan
tumbuhan pioner. Vegetasi tersebut terdiri dari tingkatan semai dan pancang.
4). Terdapat perubahan signifikan pada struktur hutan.
Mencegah terjadinya kerusakan hutan mangrove dengan cara
mengadakan kegiatan konservasi bahkan merestorasi dengan mengembalikan dan
menata kembali yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi
dan restorasi hutan mangrove tidak hanya sekedar untuk melindungi dan
melestarikan spesies serta menyediakan obyek wisata (ekoturism), tetapi harus
pula berfungsi untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya
dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan.
Upaya
merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman mangrove sebenarnya sudaH
dimulai sejak tahun sembilan-puluhan . Data penanaman mangrove oleh Departemen
Kehutanan sejak tahun 1999 hingga tahun
2003 baru terealisasi 7.890 ha
(Departemen Kehutanan ,2004) , namun tingkat keberhasilanya masih sangat
rendah. Data ini menunjukan bahwa laju rehabilitasi hutan mangrove hanya
sekitar 1.973 ha/tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar