Social Icons

Senin, 16 Desember 2013

Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove

I. PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas hutan mangrove terluas di dunia dengan keragaman hayati terbesar dan struktur paling bervariasi (Noor, dkk. 1999). Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial  dalam Gunarto (2004) luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 860 juta hektar akan tetapi sekitar 530 juta hektar dalam keadaan rusak. Sedangkan data FAO (2007) luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3.062.300 ha atau 19% dari luas hutan mangrove di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%).
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang mengandung  produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan  lainnya.
Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove. Sebagian besar garis pantai perairan Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan tropis atau hutan mangrove, kadang-kadang terbentuk pantai yang berbatasan dengan pasir berbatu atau karang lunak dan terletak di belakang pinggiran terumbu karang, terutama di dekat muara sungai (Saparinto, 2007).
Ekosistem mangrove dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi air laut. Proses dekomposisi serasah bakau yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai sumber penghasilan masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora-fauna pesisir, serta dapat di kembangkan sebagai wanawisata untuk kepentingan pendidikan dan penelitian (Arief  2003).

 
Hutan mangrove Riau merupakan hutan mangrove terluas kedua di Sumatera dengan perkiraan luas 259.500 ha, namun karena mengalami eksploitasi khususnya untuk keperluan kayu gelondongan, chip dan arang, yang tersisa hanya 184.000 ha (Giesen dalam Zieren, 1997). 
Luas hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis pada tahun 1997 diperkirakan mencapai 69.000 ha, berkurang menjadi 50.765,04 ha pada tahun 2002 (Anonim, 2004). Adanya perubahan tata guna dan fungsi lahan mangrove serta berbagai aktivitas pembukaan lahan telah menyebabkan semakin berkurangnya luas hutan mangrove dan terjadinya perubahan komposisi vegetasi pada berbagai strata pertumbuhan seperti seedling, sapling dan pohon. Menurut Bengen (2001) kerusakan dan gangguan pada strata pertumbuhan dapat menjadi kendala pada proses regenerasi pohon mangrove di masa yang akan datang.
Dengan memiliki hutan mangrove yang cukup luas, maka diperlukan pemikiran yang tepat untuk untuk pengelolaannya, agar pendayagunaan hutan mangrove yang berkelanjutan dapat tercapai. Untuk mencapai hal tersebut, pengelolaan hutan mangrove harus didasarkan pada informasi ilmiah yang cukup dan lengkap. Sehingga penelitian mengenai struktur komunitas mangrove perlu dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah
Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Bengkalis mengalami kerusakan. Kegiatan manusia yang berupa pembukaan lahan dan pengambilan kayu mempengaruhi ekosistem mangrove serta dapat merubah struktur komunitas vegetasi mangrove. Terjadi perubahan struktur komunitas vegetasi mangrove dan ini harus diatasi, maka diperlukan kajian tentang struktur komunitas vegetasi mangrove. Kajian ini diharapkan bisa memberikan informasi sebagai pedoman kebijakan pengelolaan mangrove pada masa yang akan datang di Kecamatan Bukit batu ini.
Sebelumnya pada tahun 2009 di salah satu Desa pada Kecamatan Bukit Batu yaitu Desa Dompas telah diadakan Rehabilitasi penanaman sekitar 50 ribu batang mangrove sumbangan dari Bank Dunia yang langsung diterima oleh LSM  di Desa Dompas ini ,berhubung kinerja LSM tersebut tidak berjalan maka penanaman dilakukan oleh masyarakat setempat dengan dikoordinir langsung oleh Kepala Desa Dompas.

1.3. Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur  komunitas vegetasi mangrove di Kecamatan Bukit Batu Kota Kabupaten Bengkalis dan sekaligus melihat secara labih lanjut pertumbuhan mangrove rehabilitasi hasil partisipasi masyarakat yang telah sebelumnya dilaksanakan di Desa Dompas . Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai struktur komunitas mangrove, sehingga dapat dijadikan sebagai informasi awal dalam kebijakan pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis.
II.                TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al, 2003).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Luas vegetasi mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau 27% dari luas mangrove di Dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di Dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah Sumatra, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993 (Dahuri, 2002).
Supriharyono (2000) mengatakan bahwa tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisika-kimia dilingkungannya. faktor-faktor yang menentukan penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: frekuensi arus pasang tinggi dan rendahnya penggenangan air pasang menentukan salinitas tanah, selanjutnya tanah akan menentukan kehidupan tumbuhan mangrove. Seperti Avicennia marina dan Lumnitzera racemosa yang tahan pada salinitas diatas 40 0/00. S. caseolaris, Aegiceras corniculata hidup pada salinitas rendah (10 0/00) spesies ini sebagai indikator adanya air tawar. S. alba, S. spetala dan S. grifihii hidup pada salinitas normal, spesies dari genus Bruguiera tumbuh pada salinitas di bawah 25 0/00, B. parvifflora pada salinitas 20 0/00, B. gymnorhiza pada salinitas 10-25 0/00 dan B. secangula pada salinitas 10 0/00. 
Mangrove tersebar di seluruh pantai tropik dan sub tropik. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang. Bila keadaan pantai sebaliknya, benih tidak mampu tumbuh dengan sempurna dan menjatuhkan akarnya. Mangrove berkembang baik di daerah estuari tropik dan tersebar pada berbagai daerah. Mangrove juga ditemukan diluar daerah tropik seperti di pantai utara Meksiko, sepanjang pantai barat dari bagian sentral dan utara Amerika utara dan Afrika, dan sampai ke selatan pulau di Selandia Baru (Dahuri et al., 1996).
Keadaan hutan mangrove di daerah Bengkalis dan sekitarnya sedikit berlainan bila dibandingkan dengan hutan mangrove di Kepulauan Riau. Habitat umumnya tanah liat berlumpur hitam, bentuk batang tegakan umumnya bengkok dengan diameter cukup besar. Ketebalan hutan berkisar 100-500 m (Anonim, 1978).
 Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.

2.2. Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Santoso dan Arifin (1998) menyatakan ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis, biologis dan ekonomis. Fungsi hutan mangrove adalah :
a.       Fungsi ekologis : (1) pelindung garis pantai dari abrasi; (2) mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan; (3) mencegah intrusi air laut ke daratan; (4) tempat berpijah aneka biota laut; (5) tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan serangga; (6) sebagai pengatur iklim mikro.
b.      Fungsi Biologi : (1) nursery ground , feeding ground, spawning ground, bagi berbagai spesies udang, ikan, dan lainnya; (2) habitat berbagai kehidupan liar.
c.       Fungsi ekonomis : (1) penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan); (2) penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, pewarna); (3) penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu dan telur burung; (4) pariwisata, penelitian, dan pendidikan.
Secara ekonomi, mangrove mampu memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, baik itu penyediaan benih bagi industri perikanan. selain itu kayu dari tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan untuk sebagai kayu bakar, bahan kertas, bahan konstruksi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan juga saat ini ekosistem mangrove sedang dikembangkan sebagai wahana untuk sarana rekreasi atau tempat pariwisata yang dapat meningkatkan pendapatan negara (http://web.ipb.ac.id).
Secara fisik mangrove berfungsi dalam peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen. Ekosistem mangrove ini mampu menghasilkan zat-zat nutrient yang mampu menyuburkan perairan laut dan berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur (http://web.ipb.ac.id).

2.3. Tipe Struktur Vegetasi Mangrove
Secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar (Rusila et al. 2006).
a.    Mangrove terbuka
Mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Samingan (1980) menemukan bahwa di Karang Agung, Sumatera Selatan, di zona ini didominasi oleh Sonneratia alba yang tumbuh pada areal yang betul-betul dipengaruhi oleh air laut. Komiyama et al (1988) menemukan bahwa di Halmahera, Maluku, di zona ini didominasi oleh S. alba. Komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. S. alba cenderung untuk mendominasi daerah berpasir, sementara Avicennia marina dan Rhizophora mucronata cenderung untuk mendominasi daerah yang lebih berlumpur (Van Steenis, 1958). Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organic (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993).
b.     Mangrove tengah
Mangrove di zona ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. Namun, Samingan (1980) menemukan di Karang Agung didominasi oleh Bruguiera cylindrica. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan di Karang Agung adalah B. eriopetala, B. gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X. moluccensis.
c.     Mangrove payau
Mangrove berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Di Karang Agung, komunitas N. fruticans terdapat pada jalur yang sempit di sepanjang sebagian besar sungai. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan N. fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai, campuran komunitas Sonneratia - Nypa lebih sering ditemukan. Di sebagian besar daerah lainnya, seperti di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di mulut Sungai Barito di Kalimantan Selatan atau di mulut Sungai Singkil di Aceh, Sonneratia caseolaris lebih dominan terutama di bagian estuari yang berair hampir tawar (Giesen and  Balen, 1991).
d.    Mangrove daratan
Mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.
2.5. Gangguan Hutan Mangrove
Gangguan hutan adalah suatu kekuatan utama yang akan menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan pada struktur dan komposisi hutan. Gangguan pada hutan dapat terjadi secara alami seperti kebakaran hutan, banjir, gempa bumi, angin dan kematian karena hama atau penyakit. Gangguan dapat juga terjadi oleh karena aktivitas manusia seperti penebangan kayu. Gangguan alami merupakan faktor penting dalam mempengaruhi perkembangan ekosistem dan gangguan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat menyebabkan perubahan pada struktur dan komposisi hutan (Ortlepp 2000).
Klasifikasi hutan mangrove berdasarkan kerapatannya adalah sebagai berikut : mangrove  primer,  mangrove  sekunder,  dan  mangrove  jarang. Mangrove  primer  adalah  mangrove  dengan  kerapatan  vegetasi  tingkat  pohon antara  500    1.000  pohon/ha,  mangrove  sekunder  adalah  mangrove  dengan kerapatan  vegetasi  tingkat  pohon  antara  200  s/d  499  pohon/ha,    sedangkan mangrove  jarang adalah mangrove dengan kerapatan vegetasi  tingkat pohon di bawah 200 pohon/ha (Ditjen RLPS, 2002).
Kriteria hutan yang mengalami gangguan ringan yaitu: 1). Intensitas gangguan sedikit sedang. 2). Penyebab utama terjadinya gangguan adalah: gangguan alami dengan skala kecil seperti angin. 3). Vegetasi terdiri dari semai, pancang, tiang dan pohon yang berdiameter besar. 4). Tidak ada perubahan signifikan pada struktur hutan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1. Kerusakan Mangrove Berdasarkan Kerapatan Pohon
Kriteria
Penutupan (%)
Kerapatan (Pohon/ha)
Kondisi
Sangat Padat
> 75
1500
Baik
Sedang
> 50 - < 75
> 1000 - < 1500
Sedang
Jarang
< 50
< 1000
Rusak

Menurut ITTO (2002) tingkat gangguan dikawasan hutan dapat dibedakan atas berbagai tingkat yaitu gangguan berat, gangguan sedang dan gangguan ringan. Kriteria kawasan hutan yang mengalami gangguan berat yaitu: 1). Tingkat gangguan parah dan kerusakan mencapai 90% dari penutupan hutan alami. 2). Penyebab utama terjadinya gangguan adalah: pengambilan kayu dalam jumlah yang besar, pemanenan hasil hutan non-kayu yang berlebihan, adanya gangguan alam seperti kebakaran dan badai. 3). Vegetasi pada hutan yang mengalami gangguan berat didominasi oleh semak-semak, pakis dan tumbuhan pioner. Vegetasi tersebut terdiri dari tingkatan semai dan pancang. 4). Terdapat perubahan signifikan pada struktur hutan.
Mencegah terjadinya kerusakan hutan mangrove dengan cara mengadakan kegiatan konservasi bahkan merestorasi dengan mengembalikan dan menata kembali yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, kegiatan konservasi dan restorasi hutan mangrove tidak hanya sekedar untuk melindungi dan melestarikan spesies serta menyediakan obyek wisata (ekoturism), tetapi harus pula berfungsi untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan.
Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman mangrove sebenarnya sudaH dimulai sejak tahun sembilan-puluhan . Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan sejak tahun  1999 hingga tahun 2003  baru terealisasi 7.890 ha (Departemen Kehutanan ,2004) , namun tingkat keberhasilanya masih sangat rendah. Data ini menunjukan bahwa laju rehabilitasi hutan mangrove hanya sekitar 1.973 ha/tahun



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates